Proses Pembakaran Daging |
TOMOHON, Losnito - Sederhana dan jauh dari cita rasa modern, seperti Fried Chicken atau steak bakar, itulah kesan saya terhadap daging bakar yang dimasak ala Papua Barat. Kali ini saya diajak bukan untuk “bakar batu” atau makan Papeda, kuliner khas Papua. Tetapi saya diajak untuk bakar-bakar di kebun. Katanya ini tradisi mereka untuk sambut warga baru yang masuk dalam komunitas perantau di tahun ajaran baru ini.
Asap putih mulai mengepul ke udara. Bara api bakaran kayu
sudah mulai kelihatan. Batang dan rating kayu yang mereka kumpulkan mulai dibakar.
Sementara yang beli bahan makanan belum datang, milu (jagung) mulai ditaruh di atas
ranting di antara semburat api kayu itu. Tanpa mengupas pelepahnya jagung langsung
ditaruh begitu saja di antara perapian yang membara.
Di sekitar pembakaran itu, saya hitung ada 30 siswa Papua. Tak semua sibuk “memasak” di dekat pembakaran. Ada yang berteduh di semak-semak dan pohon perdu berlindung dari sengatan matahari pagi. Saya sempat bertanya, mengapa yang perempuan tak ikut memasak sepertinya itu tugas laki-laki. Samuael Kora menjawab, “Itu tradisi kami Pak. Laki-laki yang cari kayu bakar dan bikin api dan sekaligus bertugas memasaknya. Perempuan biasanya kasih bersih itu makanan sebelum dibakar”.
Metin Tsunawatme dan satu temannya datang membawa bahan-bahan yang dibakar. Saya lihat dia bawa daging babi, empat ekor ayam, kentang, dan ubi-ubian seperti ketela pohon, ubi jalar dan ubi talas keladi. Tak lama kemudian temannya memotong-motong daging itu dan mengupas ayam hingga bersih. Setelah diserahkan ke teman perempuan untuk dibersihkan di sungai terdekat. Bumbu termasuk rica-rica dimasukkan di bekas botol mineral lalu ditumbuk.
Jarum jam beranjak menuju ke angka dua belas. Satu lagi
perabian dibuat. Perapian ini khusus untuk membakar daging ayam dan babi.
Mereka buat dengan sederhana. Kayu-kayu yang masih basah dipasang di atas
perapian membentuk alat pemanggang. Di atas kayu basah itu semua daging ditaruh
dan di bawahnya perapian terus dijaga hingga membara.
Untuk mempercepat proses matang, daging-daging yang
sementara dibakar di atas bara, diolesi dengan mentega. Sesekali saya melihat
Metin mengusapnya dengan bumbu yang dibuat. Tak beberpa lama dari proses itu,
daging bakar sudah siap disajikan.
Proses penyajiannya menurut saya unik. Mereka berteriak
dengan bahasa yang tidak saya mengerti tetapi saya pahami sebagai tanda untuk
berkumpul dan mendekat dengan daging dan ubi yang sudah siap dimasak. Lalu
mereka disuruh berkelompok, makanan nanti dibagi berdasarkan kelompok secara
merata.
Mereka menyuruh saya untuk memimpin doa makan. Saya iyakan
saja. Setelah doa, makanan dibagi dan mereka menyantapnya sesuai dengan yang
sudah dibagi. Uniknya tak ada kelompok yang protes karena makanan yang kurang.
Dalam hal makan mereka tidak saling berebut.
Saya dan teman pembina juga mendapat jatah makan yang
lumayan besar porsinya. Dua potong ubi keladi, dua jagung bakar, dan setengah
potong daging ayam utuh dan masing-masing segelas air mineral untuk minum.
Bagaimana rasa daging bakar itu? Rasanya adalah sederhana
tetapi rasa paguyubannya, serta persaudaraan di antara mereka di tanah rantau,
cukup membanggakan. Begitulah sebuah kearifan lokal yang terus disemai di mana
pun mereka berada. Karena itu jangan heran kalau mereka suka makan pinang.
Katanya buat gigi kuat dan menyembuhkan sakit gigi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Sesuai artikel yang anda sudah baca ....Admin Terimakasih atas anda bersedia membaca artikel IP_MAMI SULUT di Kota Studi Manado.